MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN
Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita
suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan
antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup
lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta
melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia
tersebut.
Syarat-syarat Menjadi Masyarakat
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar
sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
A. Pengertian Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian
masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri
kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri
yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus
bergantung padaorang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan
atau individu.
3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.
5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi.
6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
B. Pengertian Masyarakat Pedesaan
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemeritnahan sendiri
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang
kuatsesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat
yang sangat kuat yang hakekatnya.
Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang
lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan
lainnya di luar batas wilayahnya.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
Tipe Masyarakat
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
masyarakat paksaan, misalnya Negara, masyarakat tawanan, dan lain-lain
masyarakat merdeka, yang terbagi dalam :
masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya,
seperti gerombolan, suku, yagn bertalian dengan hubungan darah atau
keturunan
masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan
keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian,
gereja dan sabagainya
Perbedaan dan ciri-ciri antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan
(rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut
Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan
dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern,
betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya
bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang
masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem
yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses
sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan”
pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan
secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan
lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat
pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar
sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985),
menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah
pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok
kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan
pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang
kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti
pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping
pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang
peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila
ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa
di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada
individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
C. Hubungan Desa-Kota, Hubungan Pedesaan-Perkotaan
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah
sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara
keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena
diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi
kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur ,
daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis
jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam
proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya
atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja
pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah.
Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu
masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan
apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang
tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut
sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan,
fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang
mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan
menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota
makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui
beberapa caar, seperti: (i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang
perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan
perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan
kecepatan yang beraneka ragam; (ii) Invasi kota , pembangunan kota baru
seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah
perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan
sepenuhnya diganti dengan perkotaan; (iii) Penetrasi kota ke desa,
masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang
sesungguhnya banyak terjadi; (iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya
berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat
hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak danorang kota.
Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah
berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya
dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota yang saling
ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah
baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari
desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses
terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).
b) Sebab-sebab Urbanisasi
D. Aspek Positif dan Negatif
a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat
istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang
monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir,
serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa
untuk mencari penghidupan lain dikota.
Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :
a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan
merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial
yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah (
Soekanti, 1969 : 124-125 ).
5 Unsur Lingkungan Perkotaan
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan,
seyogyanyamengandung 5 unsur yang meliputi :
Wisma : unsure ini merupakan bagian ruang kota yang dipergunakan untuk
tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta untuk melangsungkan
kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga. Unsure wisma ini menghadapkan
dapat mengembangkan daerah perumahan penduduk yang sesuai dengan pertambahan kebutuhan penduduk untu masa mendatang
memperbaiki keadaan lingkungan perumahan yang telah ada agar dapat
mencapai standar mutu kehidpan yang layak, dan memberikan nilai-nilai
lingkungan yang aman dan menyenangkan
Karya : unsure ini merupakan syarat yang utama bagi eksistensi suatu
kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan bermasyarakat.
Marga : unsure ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk
menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat lainnya
didalam kota, serta hubungan antara kota itu dengan kota lain atau
daerah lainnya.
Suka : unsure ini merupakan bagian dari ruang perkotaan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi, pertamanan,
kebudayaan dan kesenian
Penyempurna : unsure ini merupakan bagian yang penting bagi suatu kota,
tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam keempat unsur termasuk
fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasiltias keagamaan, perkuburan kota
dan jaringan utilitas kota.
Fungsi Eksternal
Di pihak lain kota mempunya juga peranan/fungsi eksternal, yakni
seberapa jauh fungsi dan peranan kota tersebut dalam kerangka wilayah
atau daerah-daerah yang dilingkupi dan melingkupinya, baik dalam skala
regional maupun nasional. Dengan pengertian ini diharapkan bahwa suatu
pembangunan kota tidak mengarah pada suatu organ tersendiri yang
terpisah dengan daerah sekitarnya, karena keduanya saling pengaruh
mempengaruhi.
Ciri-ciri Masyarakat desa
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi
“Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat
tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri masarakat desasebagai
berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta ,
kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong
menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain
dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas,
yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri,
tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus
memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya
dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu.
Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku
untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak
diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan
suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya
prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam
hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit.
Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan
sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat
pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
Hakikat Dan Sifat Masyarakat Pedesaan
Seperti dikemukakan oleh para ahli atau sumber bahwa masyarakat
In¬donesia lebih dari 80% tinggal di pedesaan dengan mata pencarian yang
bersifat agraris. Masyarakat pedesaan yang agraris biasanya dipandang
antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat
tentang damai, harmonis yaitu masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh
orang kota dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala
kesibukan, keramaian dan keruwetan atau kekusutan pikir.
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan
pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat
yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebetulnya ketenangan
masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang
oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat gemeinschaft
(paguyuban). Jadi Paguyuban masyarakat itulah yang menyebabkan
orang-orang kota menilai sebagai masyarakat itu tenang harmonis, rukun
dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.
Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal
bermacam-macam gejala, khususnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di
dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.
Gejala Masyarakat Pedesaan
a) Konflik ( Pertengkaran)
Ramalan orang kota bahwa masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang
tenang dan harmonis itu memang tidak sesuai dengan kenyataan sebab yang
benar dalam masyarakat pedesaan adalah penuh masalah dan banyak
ketegangan. Karena setiap hari mereka yang selalu berdekatan dengan
orang-orang tetangganya secara terus-menerus dan hal ini menyebabkan
kesempatan untuk bertengkar amat banyak sehingga kemungkinan terjadi
peristiwa-peristiwa peledakan dari ketegangan amat banyak dan sering
terjadi.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi biasanya berkisar pada masalah
sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga.
Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah
kedudukan dan gengsi, perkawinan, dan sebagainya.
b) Kontraversi (pertentangan)
Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan
(adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna
(black magic). Para ahli hukum adat biasanya meninjau masalah
kontraversi (pertentangan) ini dari sudut kebiasaan masyarakat.
c) Kompetisi (Persiapan)
Sesuai dengan kodratnya masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang
mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasanya yang antara lain
mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu
maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif. Positif bila
persaingan wujudnya saling meningkatkan usaha untuk meningkatkan
prestasi dan produksi atau output (hasil). Sebaliknya yang negatif bila
persaingan ini hanya berhenti pada sifat iri, yang tidak mau berusaha
sehingga kadang-kadang hanya melancarkan fitnah-fitnah saja, yang hal
ini kurang ada manfaatnya sebaliknya menambah ketegangan dalam
masyarakat.
d) Kegiatan pada Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan mempunyai penilaian yang tinggi terhadap mereka yang
dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain. Jadi jelas masyarakat
pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas,
tanpa adanya suatu kegiatan tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi
apabila orang berpendapat bahwa orang desa didorong untuk bekerja lebih
keras, maka hal ini tidaklah mendapat sambutan yang sangat dari para
ahli. Karena pada umumnya masyarakat sudah bekerja keras.
Tetapi para ahli lebih untuk memberikan perangsang-perangsang yang dapat
menarik aktivitas masyarakat pedesaan dan hal ini dipandang sangat
perlu. Dan dijaga agar cara dan irama bekerja bisa efektif dan efisien
serta kontinyu (diusahakan untuk menghindari masa-masa kosong bekerja
karena berhubungan dengan keadaan musim/iklim di Indonesia).
Kesimpulan :
Meskipun banyak sekali perbedaan antara masyarakat desa dan kota,namun
diantara kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang
signifikan,artinya kehidupan perekonomian di kota tidak akan berjalan
dengan baik apabila tidak ada pasokan tenaga atau barang dari
desa,begitu juga sebaliknya.
PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTREGRASI MASYARAKAT
A. PERBEDAAN KEPENTINGAN
Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan berhubungan baik antara
dihubungkan dengan menghubungkan antara individu-individu maupun antara
kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan
dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan
menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota
penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta
nilai-nilai yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya
menjadikan alat pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas
dari rel ketentuan yang telah disepakati itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa, tepa selira sebagai bukti
kuatnya ikatan itu. Pada diri setiap anggota terkandung makna adanya
saling ikut merasakan dan saling bertanggungjawab pada setiap sikap
tindak baik mengarah kepada yang positif maupun negatif. Sakit anggota
masyarakat satu akan dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping
adanya suatu harmonisasi, disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya.
Bukan harmonisasi ditemukan, tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan
organisasi tetapi disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat para anggotanya pada kondisi
tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan dalam berbagai hal.
Tetapi juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering kita temui
pertentangan-pertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang tetapi
kiranya hujan setengah hari, karena sebagus-bagusnya gading akan
mengalami keretakan. Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan negara
mengalami kegoyahan-kegoyahan yang terkadang keadaan tidak terkendali
dan dari situlah terjadinya perpecahan. Sudah tentu sebabnya, misalnya
adanya pertentangan karena perbedaan keinginan.
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat naluriah disamping
adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi
pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok
agama, kelompok ideologi tertentu termasuk antara mayoritas dan
minoritas.
B. PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME
Pengertian Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari
seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu.
Bahasa arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa
timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Disisi lain bahasa arab
“khusnudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada
tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk
merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau
situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau
beringkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa sikap bertentangan
dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan
kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul
tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif
merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis
dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman
sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil
peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa
diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan
generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi
proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita.
Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi
atau unsur efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga
orang-orang yang lebih sukar berprasangka. Tampaknya kepribadian dan
inteligensi, juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya
prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka,
karena orang-orang macam ini bersikap dan bersifat kritis. Prasangka
bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu
tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi
seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seseorang yang mempunyai
prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang
diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak
diskriminatif tanpa latar belakang prasangka. Demikian juga sebaliknya
seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi
Berlatar belakang sejarah. Orang-orang kulit putih di Amerika Serikat
berprasangka negatif terhadap orang-orang Negro, berlatar belakang pada
sejarah masa lampau, bahwa orang-orang kulit putih sebagai tuan dan
orang-orang Negro berstatus sebagai budak.
Dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional.
Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu
didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Antara lain dari usaha
korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat dan lain sebagainya.
Bersumber dari faktor kepribadian.
Berlatar belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama.
Usaha-Usaha Mengurangi atau Menghilangkan Prasangka dan Diskriminasi
1. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
2. Perluasan kesempatan belajar.
3. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Pengertian Etnosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan
norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik,
mutlak dan dipergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan
kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok
lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam
tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi
penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.Etnosentrisme dapat
dianggap sebagai sikap dasar ideologi Chauvinisme pernah dianut oleh
orang-orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya
superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, dan memandang
bangsa-bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.
C. PERTENTANGAN SOSIAL ATAU KETEGANGAN DALAM MASYARAKAT
Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang
lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya
sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik berbeda-beda.
Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik
yaitu :
Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagian yang terlibat di dalam konflik.
Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai,
sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan.
Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi
tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau
permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil
yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat,
yaitu :
Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya
pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan yang
antagonistik didalam diri seseorang.
Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam
diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok
dalam tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi
mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara
nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma
kelompok yang bersangkutan berbeda. Perbedan-perbedaan dalam nilai,
tujuan dan norma serta minat, disebabkan oleh adanya perbedaan
pengalaman hidup dan sumber-sumber sosio-ekonomis didalam suatu
kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
Elimination yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam
konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami
keluar, kami membentuk kelompok kami sendiri.
Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai
kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya.
Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan
menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
Minority Consent artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun
kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta
sepakat untuk melakukan kegiatan bersama
Compromise artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
Integration artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan,
dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu
keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
D. GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERBEDA DAN INTEGRASI SOSIAL
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri
dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh
kesatuan nasional yang berwujudkan Negara Indonesia. Masyarakat majemuk
dipersatukan oleh sistem nasional yang mengintegrasikannya melalui
jaringan-jaringan pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial.
Aspek-aspek dari kemasyarakatan tersebut, yaitu Suku Bangsa dan
Kebudayaan, Agama, Bahasa, Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi
diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi
keserasian persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada pada
kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal
Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat
menjadi penghambat dalam integrasi:
Tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar
warga negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu
Integrasi Sosial adalah merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang
berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan. Unsur yang berbeda
tersebut meliputi perbedaan kedudukan sosial,ras, etnik, agama, bahasa,
nilai, dan norma. Syarat terjadinya integrasi sosial antara lain:
Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan mereka
Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai norma dan nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman
Nilai dan norma berlaku lama dan tidak berubah serta dijalankan secara konsisten
Integrasi Internasional merupakan masalah yang dialami semua negara di
dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahan yang dihadapinya.
Menghadapi masalah integritas sebenarnya tidak memiliki kunci yang pasti
karena latar belakang masalah yang dihadapi berbeda, sehingga integrasi
diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan, dapat
dengan jalan kekerasan atau strategi politik yang lebih lunak. Beberapa
masalah integrasi internasional, antara lain:
1. perbedaan ideologi
2. kondisi masyarakat yang majemuk
3. masalah teritorial daerah yang berjarak cukup jauh
4. pertumbuhan partai politik
Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkecil atau menghilangkan kesenjangan-kesenjangan itu, antara lain:
Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara Indonesia terhadap Ideologi Nasional
Membuka isolasi antar berbagai kelompok etnis dan antar daerah/pulau
dengan membangun saran komunikasi, informasi, dan transformasi
Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
Membentuk jaringan asimilasi bagi kelompok etnis baik pribumi atau keturunan asing
E. INTEGRASI INTERNASIONAL
Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang
memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme,
pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme.
Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini,
tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam
pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi
integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana
ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Integrasi politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah
‘produk akhir’ penyatuan politik di tingkat global atau regional di
antara unit-unit nasional yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang
baru dalam peradaban manusia, sedangkan dalam tingkat hubungan
internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan ‘terminologi baru’ dan
menjadi studi politik sistemik utama pada tahun 1950-an hinggga 60-an
[Charles Pentland 1973. International Theory and European Integration.
London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland mendefinisikan integrasi politik
internasional sebagai sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang
pada awalnya diorganisasikan dalam dua atau lebih negara bangsa yang
mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah keseluruhan politik yang dalam
beberapa pengertian dapat digambarkan sebagai sebuah ‘community’.
Kesepakatan yang dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka
penyatuan yang kooperatif bukan koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam
pemaknaan ini adalah penggunaan istilah proses ataukah
hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion Lindberg [dalam
Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon requiring
Multivariate Measurement, Jurnal International Organization edisi Musim
Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah proses di mana
bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan
kunci politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain,
malahan mencari keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan
kebijakan pada organ-organ kontrol baru.”
Konsep integrasi internasional/regional berbeda dengan konsep serupa
tentang internasionalisme/regionalisme, kerjasama
internasional/regional, organisasi internasional/regional, gerakan
internasional/regional, sistem internasional/regional, dll. Integrasi
menitikberatkan perhatiannya pada proses atau relationship, di mana
pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama seiring dengan
perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku,
kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan
penegakan institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi
kebutuhan bersama. Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari
negara-negara yang terpisah di tingkat global maupun regional.
Dua Model dari End Product
Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state
model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara
sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus
integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama
terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas
menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara
rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga
politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values,
perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis,
fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional
yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang
terlembaga, maka ia community model.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel
mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama,
variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara,
yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik
dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas
negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda
dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya
variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung
membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum
regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut
dalam proses integrasi. Mudahnya digambarkan dalam tabel berikut:
Federalisme
Asumsi: Perang disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis.
Transformasi menuju integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan
dalam mentransfer power dan loyalitasnya pada pemerintahan dunia.
Pengopinian atas pengaturan dan pemerintahan umat manusia, adalah
melalui jalur diskusi dan edukasi.
Pendukung: Amitai Etzioni, Grenville Clark, Louis B Sohn, Carl J
Fiedrich, Edith Wynner, H Brugmans, P Duclos, W H Riker, Stringfellow
Barr.
Tujuannya adalah formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan
identitas internasionalnya dalam entitas politik baru yang legal.
Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu komplementer antara negara dan
pemerintah federal, tetapi memiliki power yang mandiri. Menurut Etzioni,
hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang memiliki tiga macam
integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif (violence), (b)
pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit ekonomi, (c)
dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi,
“integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
Kritik: Inis L Claude, Jr dalam Swords into Plowshares menyebutnya
sebagai impractical, utopian dan unrealistic serta didasari asumsi yang
sangat naif. Adalah terlalu menyederhanakan masalah untuk meyakini bahwa
states bersedia menyerahkan kedaulatannya atau sebagian darinya demi
federasi dunia.
Pluralisme
Asumsi: Karl W Deutsch adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia
berasumsi pada adanya tendensi pada state untuk berintegrasi atau pun
berkonflik dengan tetangganya dengan (basic) perhitungan, pendirian
(opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya. Konsepsi pluralis juga
bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta keamanan
nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi
lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta
atas kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa
politik.
Pentland menjelaskan, bahwa integrasi oleh pluralis dipandang sebagai
formasi dari sebuah ‘community of states’, yang didefinisikan dengan
sebuah level pertukaran diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang
tinggi dan self-sustain di antara anggotanya. Pendekatan ini sering
disebut pula pendekatan komunikasi, yang mengukur proses integrasi
dengan mengamati aliran transaksi internasional, seperti (perdagangan,
turis, surat, dan imigran), yang pada akhirnya membuat jalan bagi
evolusi ‘komunitas keamanan’ (community of states) atau integrasi sistem
sosial politik.
Deutsch telah menyusun dua tipe komunitas keamanan, yaitu tipe
‘amalgamasi’ (seperti USA) yang memiliki karakteristik satu pemerintahan
federal yang menjalankan pusat kontrol politik atas sebuah kawasan
seukuran benua; dan tipe ‘plural,’ yang memiliki karakteristik kurangnya
otoritas politik pusat, tetapi tiap unit bangsa tidak berkelahi
satu-sama lain dan tidak membentengi perbatasannya. Couloumbis dan Wolfe
juga menandaskan end product dari dua tipe ini. Komunitas keamanan ini
bukanlah interdependensi anggota (sebagaimana dalam pandangan
federalis/liberalis) tetapi lebih pada kemauan anggotanya untuk
berkontemplasi mengenai penyelesaian konflik mereka jika saja dilakukan
melalui jalan kekerasan. Dalam pandangan perdamaian dan keamanan
hubungan internasional kontemporer, tentunya tipe pluralistik lebih
relevan dan lebih mungkin diwujudkan sebagaimana ia tidak begitu
ambisius, serta tidak memakan dana yang besar.
Sementara itu politik digunakan dalam makna diplomasi dan strategi
kemanan serta preservasi kebijakan otonomik. Singkatnya, tujuan
integrasi politik bagi teoritisi pluralis adalah sebuah sistem
internasional negara-negara bangsa yang maju, tanpa institusi
pemerintahan bersama, tetapi pada saat yang sama terkarakteristikkan
oleh sebuah komunikasi dan ‘mutual responsiveness’ tingkat tinggi
diantara anggotanya yang mengubah resolusi konflik sebelumnya yang
cenderung melalui kekerasan yang tak dapat dibayangkan dalam (sehingga)
masa depan yang dapat diramalkan. Untuk benar-benar teintegrasi dalam
pandangan pluralis, negara harus membentuk sebuah ‘komunitas.’ Oleh
karenanya, perasaan akan kewajiban atas anggota yang lain harus
benar-benar berakar lebih kuat ketimbang hukum internasional atau
sumber-sumber tradisional kerelaan internasional (international
compliance).
Kritik: Pertama, meskipun metode dan pendekatan yang dipakai seksama dan
sophisticated, ia masih berdasarkan personal judgment dan personal
selectiveness yang tinggi, ini disebabkan penjelasan dan prediksinya
muncul dari beberapa asumsi yang tidak selalu benar. Kedua, pola
stablitas nasionalnya masih memiliki kemungkinan di-reinforced dan
diganggu oleh faktor yang tidak ada hubungan langsungnya, semisal
perubahan teknologi, atau pergantian struktur power dalam sistem
internasional global. Ketiga, asumsi bahwa perubahan berasal dari
sikap/pendirian publik dan pola tingkah laku tidak sepenuhnya benar,
mengingat dua variabel tersebut pada galibnya mengikuti jalur yang
ditentukan state leader/pemerintah sebagai institusi legal. Keterlibatan
dan pengaruh publik dalam kebijakan luar negeri pun sangat minim.
Keempat, fungsionalis dan neo-fungsionalis mengkritik, bahwa definisi
pluralis atas integrasi sangatlah minim, dimana ia hanya meliputi
preservasi perdamaian di antara bangsa-bangsa. Jikalau alasan berperang
adalah melewati batas bidang diplomasi dan berada lebih dalam, yaitu
dalam hal sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi, atau jikalau
kesejahteraan atau social justice bernilai lebih ketimbang perdamaian
dan dan keamanan, maka tipe integrasi yang lebih ambisius dan lebih luas
jangkauannya sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi kritik ini ditujukan
jikalau sistem internasional memang seperti ‘itu,’ akan tetapi pada
kenyataannya, sistem internasional adalah seperti yang diungkapkan
pluralisme, sehingga kritik yang berasal dari logika fungsionalis dan
retorika federalis tidak akan terlalu membuat perbedaan.
Fungsionalisme
Asumsi: Pertama, manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya akan
kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali
menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia
memiliki sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu
hasil akhir dan memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi
kebutuhan mereka. Pada akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak
membunuh, ia lebih memilih perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga,
perang disebabkan oleh kemiskinan, kesengsaraan, keputus-asaan, jika
kondisi ini dapat dieliminasi, maka rangsangan untuk menguatkan militer
akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis mendukung sebuah pendekatan
bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk mengisolasi dan pada
akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah usang.
Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit
teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi
perbanyakan agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan
negara-negara. Kelima, optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk
sebuah kebutuhan atau permasalahan spesifik akan hilang manakala
kebutuhan tersebut terpenuhi.
Fungsionalisme adalah teori paling tua yang membahas integrasi, dimana
ia membangun ‘perdamaian dengan potongan-potongan’ lewat organisasi
transnasional yang fokus pada kedaulatan bersama ketimbang menyerahkan
kedaulatan masing-masing negara pada sebuah institusi supranasional.
Pendukung utamanya adalah, David Mitrany, Leonard Woolf, Norman Angell,
Robert Cecil, G.D.H. Cole, Jean Monnet.
Kritik: Pertama, fungsionalis samar dalam menjelaskan organisasi global
sebagai end product. Mereka ambigu dalam menjelaskan bagaimana ia akan
terkoordinasi dengan states Kedua, menurut Paul Taylor [International
Cooperation Today.1971. London: Elek Boos Ltd.], fungsionalisme belum
mampu melakukan analisa secara deskriptif sistemik. Ketiga, asumsi yang
digunakan belum tepat mengenai penyebab perang, apakah kemiskinan dan
kesengsaraan yang menyebabkan perang, atau justru perang yang
menyebabkan kemiskinan dan keputusasaan. Keempat, tidak memperhitungkan
sifat alami manusia dalam politik yang bisa saja baik dan mau bekerja
sama, bisa juga buruk dan egois. Kelima, Fungsionalisme tidak
memperhitungkan waktu (ia terlalu lamban), padahal jika menggunakan
asumsi sosial-ekonomi, maka dalam era hi-tech ini, masyarakat sangat
membutuhkan solusi instan atas permasalahan sosial ekonomi tersebut
[Inis L Claude, Jr. 1971. Swords into Plowshares. New York: Random
House.]. Keenam, desakan fungsionalisme untuk memisahkan aktivitas di
bidang politik dan sosial ekonomi adalah kesalahan, jika merujuk
kenyataan yang ada bahwa paduan keduanya malah membuat strategi yang
bagus dalam perkembangan keduanya. Akan tetapi dari semua kritik yang
ada, kita harus ingat ini hanyalah sekedar pendekatan, bukanlah obat
mujarab, dan ia pula yang mendasari perdamaian antara Jerman dan
Perancis pasca tiga perang, serta pembentukan PBB.
Neo Fungsionalisme
Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki
fungsionalisme klasik agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan
dan memiliki hubungan yang tertata dengan pendekatan teoritis lain dalam
ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-bukti
empiris sejarah integrasi Eropa.
Asumsi yang digunakan, pertama adalah bahwa kehidupan sosial didominasi
oleh kompetisi antar kepentingan. Kedua, adanya konsensus di mana
kolompok-kelompok diajak untuk mengejar kepentingannya melalui kerangka
kerja yang mengharapkan proses integrasi. Ketiga, keadaan psikologi elit
dalam integrasi memuncak dalam kemunculan sistem politik yang baru.
Keempat, neofungsionalisme mengutamakan faktor politik dalam proses
penggabungan negara-negara merdeka. Neofungsionalisme mengharap
pencapaian masyarakat supranasional dengan menekankan kerjasama di
daerah yang secara politik kontroversial. Teori ini memandang integrasi
politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang mengarah pada
masyarakat politik.
Kritik terhadap neofungsionalisme karena tujuan dari integrasi politik
dalam teori ini meninggalkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan,
sehingga analisisnya perlu diperbaiki dan diperluas (salah satunya,
tidak ada pembedaan antara high dan low politics sebagaimana dibedakan
oleh Stanley Hoffman). Neofungsionalisme ragu-ragu untuk meniru model
dari negara supranasional. Selain itu, kondisi wilayah yang berbeda yang
masalah integrasinya berbeda memerlukan model analisis yang berbeda
pula. Sesuatu yang cocok di wilayah Eropa timur bisa tidak sesuai dengan
keadaan di wilayah lain.
Regionalisme
Terminologi ini digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk
memelihara keseragaman dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme,
pluralisme, fungsionalisme, dan neofungsionalisme. Kesuksesan teori
integrasi di Eropa Barat menghasilkan kepercayaan bahwa transisi dari
sistem negara menuju masyarakat global yang terintegrasi dapat
menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini mengasumsikan prospek
yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam isu-isu perang
dan damai, integrasi dan unifikasi.
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu
wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif.
Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman
organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong ke arah
integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat menghasilkan “model
masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat dibedakan
berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau
transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dll. Tujuan utama dari
organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan
kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area
saling ketergantungan pada negara-negara superpower.
Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar
negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa,
dll.
3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional
terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an
negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan
regional (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara- negara Eropa,
Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi
bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus
berlanjut.
Kritik terhadap regionalisme biasanya ditujukan dalam hubungannya dengan
perdamaian dan keamanan internasional. Regionalisme dituduh telah
merusak hubungan internasional di mana tiap-tiap unit regional merupakan
bagian dari dunia. Selain itu, organisasi regional seringkali
mengingkari keberadaan PBB untuk menyelesaikan masalah penting dengan
berusaha menyelesaikan sendiri masalah tersebut tanpa meminta bantuan
PBB. Walaupun demikian, adanya kepercayaan bahwa perjanjian regional dan
organisasi dunia akan terus ada, dan berdampingan dalam usahanya untuk
menciptakan perdamaian. Teori integrasi percaya bahwa pertumbuhan
organisasi regional akan membantu dalam menyatukan negara. Pertama-tama,
di tingkat regional dan kemudian di tingkat global. Secara sederhana,
kritik realis percaya bahwa teori ini secara ideal menghilangkan harapan
dan keinginan mereka dalam realita dan salah mengartikan kebiasaan
internasional. Tidak ada jaminan bahwa tren ke arah integrasi tidak akan
berbalik menyerang kaum realis.