MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN
Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Syarat-syarat Menjadi Masyarakat
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
A. Pengertian Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung padaorang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.
3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.
5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi.
6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
B. Pengertian Masyarakat Pedesaan
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemeritnahan sendiri
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuatsesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang sangat kuat yang hakekatnya.
Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
Tipe Masyarakat
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
masyarakat paksaan, misalnya Negara, masyarakat tawanan, dan lain-lain
masyarakat merdeka, yang terbagi dalam :
masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, yagn bertalian dengan hubungan darah atau keturunan
masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian, gereja dan sabagainya
Perbedaan dan ciri-ciri antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan 3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
C. Hubungan Desa-Kota, Hubungan Pedesaan-Perkotaan
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa caar, seperti: (i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam; (ii) Invasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan; (iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi; (iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak danorang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).
b) Sebab-sebab Urbanisasi
D. Aspek Positif dan Negatif
a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :
a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).
5 Unsur Lingkungan Perkotaan
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan,
seyogyanyamengandung 5 unsur yang meliputi :
Wisma : unsure ini merupakan bagian ruang kota yang dipergunakan untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga. Unsure wisma ini menghadapkan
dapat mengembangkan daerah perumahan penduduk yang sesuai dengan pertambahan kebutuhan penduduk untu masa mendatang
memperbaiki keadaan lingkungan perumahan yang telah ada agar dapat mencapai standar mutu kehidpan yang layak, dan memberikan nilai-nilai lingkungan yang aman dan menyenangkan
Karya : unsure ini merupakan syarat yang utama bagi eksistensi suatu kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan bermasyarakat.
Marga : unsure ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat lainnya didalam kota, serta hubungan antara kota itu dengan kota lain atau daerah lainnya.
Suka : unsure ini merupakan bagian dari ruang perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi, pertamanan, kebudayaan dan kesenian
Penyempurna : unsure ini merupakan bagian yang penting bagi suatu kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam keempat unsur termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasiltias keagamaan, perkuburan kota dan jaringan utilitas kota.
Fungsi Eksternal
Di pihak lain kota mempunya juga peranan/fungsi eksternal, yakni seberapa jauh fungsi dan peranan kota tersebut dalam kerangka wilayah atau daerah-daerah yang dilingkupi dan melingkupinya, baik dalam skala regional maupun nasional. Dengan pengertian ini diharapkan bahwa suatu pembangunan kota tidak mengarah pada suatu organ tersendiri yang terpisah dengan daerah sekitarnya, karena keduanya saling pengaruh mempengaruhi.
Ciri-ciri Masyarakat desa
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri masarakat desasebagai berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
Hakikat Dan Sifat Masyarakat Pedesaan
Seperti dikemukakan oleh para ahli atau sumber bahwa masyarakat In¬donesia lebih dari 80% tinggal di pedesaan dengan mata pencarian yang bersifat agraris. Masyarakat pedesaan yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat tentang damai, harmonis yaitu masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan, keramaian dan keruwetan atau kekusutan pikir.
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebetulnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat gemeinschaft (paguyuban). Jadi Paguyuban masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.
Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam-macam gejala, khususnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.
Gejala Masyarakat Pedesaan
a) Konflik ( Pertengkaran)
Ramalan orang kota bahwa masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang tenang dan harmonis itu memang tidak sesuai dengan kenyataan sebab yang benar dalam masyarakat pedesaan adalah penuh masalah dan banyak ketegangan. Karena setiap hari mereka yang selalu berdekatan dengan orang-orang tetangganya secara terus-menerus dan hal ini menyebabkan kesempatan untuk bertengkar amat banyak sehingga kemungkinan terjadi peristiwa-peristiwa peledakan dari ketegangan amat banyak dan sering terjadi.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga. Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dan sebagainya.
b) Kontraversi (pertentangan)
Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic). Para ahli hukum adat biasanya meninjau masalah kontraversi (pertentangan) ini dari sudut kebiasaan masyarakat.
c) Kompetisi (Persiapan)
Sesuai dengan kodratnya masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasanya yang antara lain mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif. Positif bila persaingan wujudnya saling meningkatkan usaha untuk meningkatkan prestasi dan produksi atau output (hasil). Sebaliknya yang negatif bila persaingan ini hanya berhenti pada sifat iri, yang tidak mau berusaha sehingga kadang-kadang hanya melancarkan fitnah-fitnah saja, yang hal ini kurang ada manfaatnya sebaliknya menambah ketegangan dalam masyarakat.
d) Kegiatan pada Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan mempunyai penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain. Jadi jelas masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas, tanpa adanya suatu kegiatan tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi apabila orang berpendapat bahwa orang desa didorong untuk bekerja lebih keras, maka hal ini tidaklah mendapat sambutan yang sangat dari para ahli. Karena pada umumnya masyarakat sudah bekerja keras.
Tetapi para ahli lebih untuk memberikan perangsang-perangsang yang dapat menarik aktivitas masyarakat pedesaan dan hal ini dipandang sangat perlu. Dan dijaga agar cara dan irama bekerja bisa efektif dan efisien serta kontinyu (diusahakan untuk menghindari masa-masa kosong bekerja karena berhubungan dengan keadaan musim/iklim di Indonesia).
Kesimpulan :
Meskipun banyak sekali perbedaan antara masyarakat desa dan kota,namun diantara kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang signifikan,artinya kehidupan perekonomian di kota tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak ada pasokan tenaga atau barang dari desa,begitu juga sebaliknya.
PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTREGRASI MASYARAKAT
A. PERBEDAAN KEPENTINGAN
Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan berhubungan baik antara dihubungkan dengan menghubungkan antara individu-individu maupun antara kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang telah disepakati itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa, tepa selira sebagai bukti kuatnya ikatan itu. Pada diri setiap anggota terkandung makna adanya saling ikut merasakan dan saling bertanggungjawab pada setiap sikap tindak baik mengarah kepada yang positif maupun negatif. Sakit anggota masyarakat satu akan dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping adanya suatu harmonisasi, disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya. Bukan harmonisasi ditemukan, tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan organisasi tetapi disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat para anggotanya pada kondisi tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan dalam berbagai hal. Tetapi juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering kita temui pertentangan-pertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang tetapi kiranya hujan setengah hari, karena sebagus-bagusnya gading akan mengalami keretakan. Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan negara mengalami kegoyahan-kegoyahan yang terkadang keadaan tidak terkendali dan dari situlah terjadinya perpecahan. Sudah tentu sebabnya, misalnya adanya pertentangan karena perbedaan keinginan.
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok agama, kelompok ideologi tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas.
B. PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME
Pengertian Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Bahasa arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Disisi lain bahasa arab “khusnudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsur efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar berprasangka. Tampaknya kepribadian dan inteligensi, juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, karena orang-orang macam ini bersikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa latar belakang prasangka. Demikian juga sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi
Berlatar belakang sejarah. Orang-orang kulit putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus sebagai budak.
Dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional. Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat dan lain sebagainya.
Bersumber dari faktor kepribadian.
Berlatar belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama.
Usaha-Usaha Mengurangi atau Menghilangkan Prasangka dan Diskriminasi
1. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
2. Perluasan kesempatan belajar.
3. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Pengertian Etnosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar ideologi Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, dan memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.
C. PERTENTANGAN SOSIAL ATAU KETEGANGAN DALAM MASYARAKAT
Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu :
Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagian yang terlibat di dalam konflik.
Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan.
Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat, yaitu :
Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan yang antagonistik didalam diri seseorang.
Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma kelompok yang bersangkutan berbeda. Perbedan-perbedaan dalam nilai, tujuan dan norma serta minat, disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosio-ekonomis didalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
Elimination yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami keluar, kami membentuk kelompok kami sendiri.
Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya.
Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
Minority Consent artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama
Compromise artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
Integration artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
D. GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERBEDA DAN INTEGRASI SOSIAL
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang berwujudkan Negara Indonesia. Masyarakat majemuk dipersatukan oleh sistem nasional yang mengintegrasikannya melalui jaringan-jaringan pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial. Aspek-aspek dari kemasyarakatan tersebut, yaitu Suku Bangsa dan Kebudayaan, Agama, Bahasa, Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
Tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar warga negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu
Integrasi Sosial adalah merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan. Unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan sosial,ras, etnik, agama, bahasa, nilai, dan norma. Syarat terjadinya integrasi sosial antara lain:
Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan mereka
Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai norma dan nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman
Nilai dan norma berlaku lama dan tidak berubah serta dijalankan secara konsisten
Integrasi Internasional merupakan masalah yang dialami semua negara di dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahan yang dihadapinya. Menghadapi masalah integritas sebenarnya tidak memiliki kunci yang pasti karena latar belakang masalah yang dihadapi berbeda, sehingga integrasi diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan, dapat dengan jalan kekerasan atau strategi politik yang lebih lunak. Beberapa masalah integrasi internasional, antara lain:
1. perbedaan ideologi
2. kondisi masyarakat yang majemuk
3. masalah teritorial daerah yang berjarak cukup jauh
4. pertumbuhan partai politik
Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkecil atau menghilangkan kesenjangan-kesenjangan itu, antara lain:
Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara Indonesia terhadap Ideologi Nasional
Membuka isolasi antar berbagai kelompok etnis dan antar daerah/pulau dengan membangun saran komunikasi, informasi, dan transformasi
Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
Membentuk jaringan asimilasi bagi kelompok etnis baik pribumi atau keturunan asing
E. INTEGRASI INTERNASIONAL
Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Integrasi politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’ penyatuan politik di tingkat global atau regional di antara unit-unit nasional yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, sedangkan dalam tingkat hubungan internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan ‘terminologi baru’ dan menjadi studi politik sistemik utama pada tahun 1950-an hinggga 60-an [Charles Pentland 1973. International Theory and European Integration. London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland mendefinisikan integrasi politik internasional sebagai sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang pada awalnya diorganisasikan dalam dua atau lebih negara bangsa yang mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah keseluruhan politik yang dalam beberapa pengertian dapat digambarkan sebagai sebuah ‘community’.
Kesepakatan yang dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif bukan koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan istilah proses ataukah hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion Lindberg [dalam Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon requiring Multivariate Measurement, Jurnal International Organization edisi Musim Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah proses di mana bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan kunci politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain, malahan mencari keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan pada organ-organ kontrol baru.”
Konsep integrasi internasional/regional berbeda dengan konsep serupa tentang internasionalisme/regionalisme, kerjasama internasional/regional, organisasi internasional/regional, gerakan internasional/regional, sistem internasional/regional, dll. Integrasi menitikberatkan perhatiannya pada proses atau relationship, di mana pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama seiring dengan perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku, kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan penegakan institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi kebutuhan bersama. Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari negara-negara yang terpisah di tingkat global maupun regional.
Dua Model dari End Product
Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values, perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis, fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang terlembaga, maka ia community model.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama, variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara, yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. Mudahnya digambarkan dalam tabel berikut:
Federalisme
Asumsi: Perang disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis. Transformasi menuju integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan dalam mentransfer power dan loyalitasnya pada pemerintahan dunia. Pengopinian atas pengaturan dan pemerintahan umat manusia, adalah melalui jalur diskusi dan edukasi.
Pendukung: Amitai Etzioni, Grenville Clark, Louis B Sohn, Carl J Fiedrich, Edith Wynner, H Brugmans, P Duclos, W H Riker, Stringfellow Barr.
Tujuannya adalah formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan identitas internasionalnya dalam entitas politik baru yang legal. Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu komplementer antara negara dan pemerintah federal, tetapi memiliki power yang mandiri. Menurut Etzioni, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang memiliki tiga macam integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif (violence), (b) pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit ekonomi, (c) dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi, “integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
Kritik: Inis L Claude, Jr dalam Swords into Plowshares menyebutnya sebagai impractical, utopian dan unrealistic serta didasari asumsi yang sangat naif. Adalah terlalu menyederhanakan masalah untuk meyakini bahwa states bersedia menyerahkan kedaulatannya atau sebagian darinya demi federasi dunia.
Pluralisme
Asumsi: Karl W Deutsch adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia berasumsi pada adanya tendensi pada state untuk berintegrasi atau pun berkonflik dengan tetangganya dengan (basic) perhitungan, pendirian (opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya. Konsepsi pluralis juga bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta keamanan nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta atas kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa politik.
Pentland menjelaskan, bahwa integrasi oleh pluralis dipandang sebagai formasi dari sebuah ‘community of states’, yang didefinisikan dengan sebuah level pertukaran diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi dan self-sustain di antara anggotanya. Pendekatan ini sering disebut pula pendekatan komunikasi, yang mengukur proses integrasi dengan mengamati aliran transaksi internasional, seperti (perdagangan, turis, surat, dan imigran), yang pada akhirnya membuat jalan bagi evolusi ‘komunitas keamanan’ (community of states) atau integrasi sistem sosial politik.
Deutsch telah menyusun dua tipe komunitas keamanan, yaitu tipe ‘amalgamasi’ (seperti USA) yang memiliki karakteristik satu pemerintahan federal yang menjalankan pusat kontrol politik atas sebuah kawasan seukuran benua; dan tipe ‘plural,’ yang memiliki karakteristik kurangnya otoritas politik pusat, tetapi tiap unit bangsa tidak berkelahi satu-sama lain dan tidak membentengi perbatasannya. Couloumbis dan Wolfe juga menandaskan end product dari dua tipe ini. Komunitas keamanan ini bukanlah interdependensi anggota (sebagaimana dalam pandangan federalis/liberalis) tetapi lebih pada kemauan anggotanya untuk berkontemplasi mengenai penyelesaian konflik mereka jika saja dilakukan melalui jalan kekerasan. Dalam pandangan perdamaian dan keamanan hubungan internasional kontemporer, tentunya tipe pluralistik lebih relevan dan lebih mungkin diwujudkan sebagaimana ia tidak begitu ambisius, serta tidak memakan dana yang besar.
Sementara itu politik digunakan dalam makna diplomasi dan strategi kemanan serta preservasi kebijakan otonomik. Singkatnya, tujuan integrasi politik bagi teoritisi pluralis adalah sebuah sistem internasional negara-negara bangsa yang maju, tanpa institusi pemerintahan bersama, tetapi pada saat yang sama terkarakteristikkan oleh sebuah komunikasi dan ‘mutual responsiveness’ tingkat tinggi diantara anggotanya yang mengubah resolusi konflik sebelumnya yang cenderung melalui kekerasan yang tak dapat dibayangkan dalam (sehingga) masa depan yang dapat diramalkan. Untuk benar-benar teintegrasi dalam pandangan pluralis, negara harus membentuk sebuah ‘komunitas.’ Oleh karenanya, perasaan akan kewajiban atas anggota yang lain harus benar-benar berakar lebih kuat ketimbang hukum internasional atau sumber-sumber tradisional kerelaan internasional (international compliance).
Kritik: Pertama, meskipun metode dan pendekatan yang dipakai seksama dan sophisticated, ia masih berdasarkan personal judgment dan personal selectiveness yang tinggi, ini disebabkan penjelasan dan prediksinya muncul dari beberapa asumsi yang tidak selalu benar. Kedua, pola stablitas nasionalnya masih memiliki kemungkinan di-reinforced dan diganggu oleh faktor yang tidak ada hubungan langsungnya, semisal perubahan teknologi, atau pergantian struktur power dalam sistem internasional global. Ketiga, asumsi bahwa perubahan berasal dari sikap/pendirian publik dan pola tingkah laku tidak sepenuhnya benar, mengingat dua variabel tersebut pada galibnya mengikuti jalur yang ditentukan state leader/pemerintah sebagai institusi legal. Keterlibatan dan pengaruh publik dalam kebijakan luar negeri pun sangat minim. Keempat, fungsionalis dan neo-fungsionalis mengkritik, bahwa definisi pluralis atas integrasi sangatlah minim, dimana ia hanya meliputi preservasi perdamaian di antara bangsa-bangsa. Jikalau alasan berperang adalah melewati batas bidang diplomasi dan berada lebih dalam, yaitu dalam hal sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi, atau jikalau kesejahteraan atau social justice bernilai lebih ketimbang perdamaian dan dan keamanan, maka tipe integrasi yang lebih ambisius dan lebih luas jangkauannya sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi kritik ini ditujukan jikalau sistem internasional memang seperti ‘itu,’ akan tetapi pada kenyataannya, sistem internasional adalah seperti yang diungkapkan pluralisme, sehingga kritik yang berasal dari logika fungsionalis dan retorika federalis tidak akan terlalu membuat perbedaan.
Fungsionalisme
Asumsi: Pertama, manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya akan kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia memiliki sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu hasil akhir dan memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak membunuh, ia lebih memilih perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga, perang disebabkan oleh kemiskinan, kesengsaraan, keputus-asaan, jika kondisi ini dapat dieliminasi, maka rangsangan untuk menguatkan militer akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis mendukung sebuah pendekatan bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk mengisolasi dan pada akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah usang. Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi perbanyakan agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan negara-negara. Kelima, optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk sebuah kebutuhan atau permasalahan spesifik akan hilang manakala kebutuhan tersebut terpenuhi.
Fungsionalisme adalah teori paling tua yang membahas integrasi, dimana ia membangun ‘perdamaian dengan potongan-potongan’ lewat organisasi transnasional yang fokus pada kedaulatan bersama ketimbang menyerahkan kedaulatan masing-masing negara pada sebuah institusi supranasional. Pendukung utamanya adalah, David Mitrany, Leonard Woolf, Norman Angell, Robert Cecil, G.D.H. Cole, Jean Monnet.
Kritik: Pertama, fungsionalis samar dalam menjelaskan organisasi global sebagai end product. Mereka ambigu dalam menjelaskan bagaimana ia akan terkoordinasi dengan states Kedua, menurut Paul Taylor [International Cooperation Today.1971. London: Elek Boos Ltd.], fungsionalisme belum mampu melakukan analisa secara deskriptif sistemik. Ketiga, asumsi yang digunakan belum tepat mengenai penyebab perang, apakah kemiskinan dan kesengsaraan yang menyebabkan perang, atau justru perang yang menyebabkan kemiskinan dan keputusasaan. Keempat, tidak memperhitungkan sifat alami manusia dalam politik yang bisa saja baik dan mau bekerja sama, bisa juga buruk dan egois. Kelima, Fungsionalisme tidak memperhitungkan waktu (ia terlalu lamban), padahal jika menggunakan asumsi sosial-ekonomi, maka dalam era hi-tech ini, masyarakat sangat membutuhkan solusi instan atas permasalahan sosial ekonomi tersebut [Inis L Claude, Jr. 1971. Swords into Plowshares. New York: Random House.]. Keenam, desakan fungsionalisme untuk memisahkan aktivitas di bidang politik dan sosial ekonomi adalah kesalahan, jika merujuk kenyataan yang ada bahwa paduan keduanya malah membuat strategi yang bagus dalam perkembangan keduanya. Akan tetapi dari semua kritik yang ada, kita harus ingat ini hanyalah sekedar pendekatan, bukanlah obat mujarab, dan ia pula yang mendasari perdamaian antara Jerman dan Perancis pasca tiga perang, serta pembentukan PBB.
Neo Fungsionalisme
Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata dengan pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-bukti empiris sejarah integrasi Eropa.
Asumsi yang digunakan, pertama adalah bahwa kehidupan sosial didominasi oleh kompetisi antar kepentingan. Kedua, adanya konsensus di mana kolompok-kelompok diajak untuk mengejar kepentingannya melalui kerangka kerja yang mengharapkan proses integrasi. Ketiga, keadaan psikologi elit dalam integrasi memuncak dalam kemunculan sistem politik yang baru. Keempat, neofungsionalisme mengutamakan faktor politik dalam proses penggabungan negara-negara merdeka. Neofungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat supranasional dengan menekankan kerjasama di daerah yang secara politik kontroversial. Teori ini memandang integrasi politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang mengarah pada masyarakat politik.
Kritik terhadap neofungsionalisme karena tujuan dari integrasi politik dalam teori ini meninggalkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sehingga analisisnya perlu diperbaiki dan diperluas (salah satunya, tidak ada pembedaan antara high dan low politics sebagaimana dibedakan oleh Stanley Hoffman). Neofungsionalisme ragu-ragu untuk meniru model dari negara supranasional. Selain itu, kondisi wilayah yang berbeda yang masalah integrasinya berbeda memerlukan model analisis yang berbeda pula. Sesuatu yang cocok di wilayah Eropa timur bisa tidak sesuai dengan keadaan di wilayah lain.
Regionalisme
Terminologi ini digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk memelihara keseragaman dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme, pluralisme, fungsionalisme, dan neofungsionalisme. Kesuksesan teori integrasi di Eropa Barat menghasilkan kepercayaan bahwa transisi dari sistem negara menuju masyarakat global yang terintegrasi dapat menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini mengasumsikan prospek yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam isu-isu perang dan damai, integrasi dan unifikasi.
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dll. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada negara-negara superpower.
Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dll.
3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara- negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus berlanjut.
Kritik terhadap regionalisme biasanya ditujukan dalam hubungannya dengan perdamaian dan keamanan internasional. Regionalisme dituduh telah merusak hubungan internasional di mana tiap-tiap unit regional merupakan bagian dari dunia. Selain itu, organisasi regional seringkali mengingkari keberadaan PBB untuk menyelesaikan masalah penting dengan berusaha menyelesaikan sendiri masalah tersebut tanpa meminta bantuan PBB. Walaupun demikian, adanya kepercayaan bahwa perjanjian regional dan organisasi dunia akan terus ada, dan berdampingan dalam usahanya untuk menciptakan perdamaian. Teori integrasi percaya bahwa pertumbuhan organisasi regional akan membantu dalam menyatukan negara. Pertama-tama, di tingkat regional dan kemudian di tingkat global. Secara sederhana, kritik realis percaya bahwa teori ini secara ideal menghilangkan harapan dan keinginan mereka dalam realita dan salah mengartikan kebiasaan internasional. Tidak ada jaminan bahwa tren ke arah integrasi tidak akan berbalik menyerang kaum realis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar